Indonesia harus mengatasi hambatan regulasi untuk membangun daya tarik energi terbarukan | Asian Business Review
, Indonesia
372 views
Photo by Jeswin Thomas via Pexels

Indonesia harus mengatasi hambatan regulasi untuk membangun daya tarik energi terbarukan

Indonesia membutuhkan $285 miliar untuk meningkatkan kapasitas energi bersih dan mencapai target iklim 2030.

Indonesia harus menghilangkan hambatan regulasi termasuk persyaratan kontrak yang memberatkan untuk tenaga surya dan angin, serta menawarkan insentif yang menarik untuk menghapus citranya sebagai negara terbelakang di sektor energi terbarukan yang menguntungkan di Asia Tenggara, menurut analis energi.

“Dengan mempertimbangkan investasi besar yang diperlukan untuk [mencapai] potensi energinya, pemerintah harus berkolaborasi dengan sektor swasta, terutama dalam pendanaan proyek,” kata Mutya Yustika, seorang spesialis keuangan energi di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) kepada Asian Power.

“Untuk memenuhi komitmen iklim 2030, Indonesia membutuhkan sekitar $285 miliar, dan investasi swasta akan sangat penting untuk mengisi kesenjangan investasi sebesar $146 miliar,” tambahnya.

Meskipun memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah dan belum dimanfaatkan serta pertumbuhan ekonomi yang kuat, investasi energi terbarukan di negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara ini stagnan selama tujuh tahun terakhir.

Tahun lalu, Indonesia hanya menarik investasi sebesar $1,5 miliar, setara dengan tambahan kapasitas 574 megawatt (MW), kata IEEFA dalam laporan yang ditulis oleh Yustika di Juni.

Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang telah memasang kapasitas tenaga surya dan angin yang jauh lebih signifikan. Misalnya, Vietnam memiliki kapasitas tenaga surya sebesar 13.035 MW dan pembangkit tenaga angin sebesar 6.466 MW, kata Yustika dalam laporan tersebut.

Sistem kemitraan wajib, batas transfer kepemilikan, skema deliver-or-pay yang tidak menguntungkan, dan batas tarif yang tidak menarik  menambah kesulitan untuk keluar dari energi terbarukan (RE). Persyaratan konten lokal yang ketat, kurangnya insentif kredit karbon, dan prosedur pengadaan yang rumit turut meningkatkan biaya dan menghalangi investasi swasta.

Dinita Setyawati, analis kebijakan listrik senior untuk Asia Tenggara di lembaga think tank Ember, mengatakan pemerintah harus menawarkan insentif yang lebih baik, selain memperjelas target RE.

Untuk melakukan hal tersebut berarti para investor dapat membuat keputusan yang terinformasi serta merasa yakin mereka akan mendapatkan keuntungan setelah memasuki pasar Indonesia, kata Setyawati. “Baik pemerintah maupun investor dapat bekerja sama untuk membantu Indonesia mencapai potensi energi terbarukan secara penuh.”

Pemerintah akan mengajukan tujuan energi terbarukan untuk 2030 dan 2035 Sementara, Setyawati mengatakan sektor energi bersih Indonesia mungkin akan berkembang lebih lambat dari yang diperkirakan. Diperkirakan  targetitu  akan dipotong menjadi 17%-19% dari 23% untuk 2025 dan menjadi 19%-21% dari 26% untuk 2030.

Yustika mencatat bahwa Indonesia meningkatkan kapasitas listriknya sebesar 21 gigawatt (GW) dari 2018 hingga 2023, terdiri dari 18,4 GW dari bahan bakar fosil dan 3,2 GW dari energi terbarukan.

“Meskipun memiliki potensi tenaga surya sebesar 3.294 GW, Indonesia hanya menambah 574 MW tenaga surya ke jaringan, hanya 0,017% dari potensinya,” katanya. “Ini berarti Indonesia memiliki tingkat penggunaan tenaga surya terendah di wilayah Asia-Pasifik dan juga salah satu yang terendah secara global.”

Negara ini hanya menghasilkan 154 MW tenaga angin dari kemungkinan 155 GW, atau 0,1% dari total potensinya, dia menambahkan.

Kurangnya transparansi

Setyawati mengatakan potensi energi bersih Indonesia sebagian besar terkonsentrasi di daerah pedesaan, tetapi permintaan terutama berasal dari Jawa yang menyebabkan kendala infrastruktur jaringan.

Yustika dalam laporannya mengatakan bahwa PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan unit-unitnya memegang kendali utama dalam pengembangan energi terbarukan melalui skema mitra wajib dan pemegang saham mayoritas 51%.

“Kepemilikan ekuitas bersama ini menghalangi investor swasta karena PLN menjadi pemilik de facto dari setiap proyek,” katanya. “Sebagai satu-satunya pembeli dari energi terbarukan yang dihasilkan, peran ganda PLN sebagai pemegang saham ekuitas dan pembeli menciptakan konflik kepentingan.”

Negara juga membatasi kemampuan sektor swasta untuk memperoleh modal tambahan dan keahlian teknis selama pelaksanaan proyek, sementara memberikan sanksi kepada kontraktor jika produsen energi independen (IPP) gagal memenuhi persyaratan listrik.

Sementara itu, sulit bagi investor untuk mencapai target keuntungan dan lelang untuk proyek baru menjadi tidak menarik mengingat batas tarif yang terlalu rendah untuk IPP, kata Yustika.

Pemerintah seharusnya menghapus pembatasan ini untuk membuat pengembalian investasi lebih menarik dan mempercepat transisi negara ke energi terbarukan, menurutnya.

Dia juga mengutip kurangnya transparansi dalam pengadaan proyek energi terbarukan oleh PLN. IPP yang ingin bergabung dalam proses pengadaan harus mendaftar terlebih dahulu, dan proses aplikasi dapat memakan waktu berminggu-minggu hingga setahun.

Setyawati mengatakan Indonesia harus meningkatkan anggaran untuk transisi energinya agar dapat mendanai pelatihan ulang pekerja yang terdampak oleh pergeseran ini. Selain itu, perlu juga memperluas jaringan listrik dan melibatkan pemerintah daerah dalam keputusan energi untuk meningkatkan perekonomian mereka.

Negara harus memanfaatkan tenaga surya dan angin alih-alih fokus pada proyek energi hidro atau panas bumi yang kompleks, berada jangka panjang, dan berskala besar, katanya. Salah satu caranya adalah dengan meluncurkan lebih banyak sistem tenaga surya atap, yang dapat dipasang dengan cepat dan memerlukan biaya lebih rendah.

“Sulit untuk mengatakan dengan yakin bahwa Indonesia akan mencapai target bauran energi terbarukan 2030,” kata Yustika. “Sebagai negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia harus memanfaatkan sumber daya tenaga surya dan angin yang luas di negara ini untuk listrik, terutama di daerah terpencil.”

 

Follow the link for more news on

BCA menjalankan komitmen terhadap keuangan berkelanjutan

Bank asal Indonesia ini mempertimbangkan aspek lingkungan dan tata kelola dalam keputusan pemberian pinjaman.

K3Mart memadukan budaya Korea dan produk UMKM lokal dalam satu gerai

Convenience store itu menyediakan perbandingan produk impor dan produk lokal sebesar 50:50 di 30 outlet mereka.

Analisa data, kunci kesuksesan AIA Indonesia dalam mengatasi penipuan

Prosedur operasional standar dan penyidik yang terlatih menjaga AIA Indonesia tetap terkendali.

KCG menguasai brand positioning untuk segmen premium di Indonesia

Mereka mengadopsi solusi berbasis teknologi terbaru untuk sukses mengelola 92 toko ritel di 20 kota di Indonesia.

Sistem JAMALI terancam oleh ancaman keandalan dan efisiensi

Sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI) menyuplai 70% listrik Indonesia untuk 160 juta orang.

Bacha Coffee menguasai retail kaya sensorik di Jakarta

Memadukan warisan dan kemewahan, Bacha Coffee Plaza Senayan menghadirkan pengalaman unik bagi pecinta kopi Indonesia.

Lippo Malls menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi konsumen

Lebih dari 60% pengunjung mal mereka berasal dari generasi muda.

Teknologi dan personalisasi mendorong e-commerce di Indonesia

3 eksekutif ritel membandingkan catatan tentang pertumbuhan pesat e-commerce yang didorong oleh teknologi di Retail Asia Forum.

PT ABC President Indonesia mempromosikan ritel dengan kampanye personalisasi digital

COO Dwi Hatmadji menyampaikan strategi keterlibatan Gen Z dan milenial yang sukses di Retail Asia Forum 2024.

Apa yang dibutuhkan brand baru untuk sukses di pasar Asia

Sensitivitas harga tetap menjadi faktor kritis terutama dalam kategori penting seperti makanan dan minuman.