
Kawasan Asia-Pasifik perlu selaraskan rencana energi dan pusat data
Akses terhadap energi terbarukan menjadi kunci bagi perluasan pasar.
Pemerintah di kawasan Asia-Pasifik perlu menyelaraskan perencanaan energi dan pusat data untuk menjaga pertumbuhan, termasuk menetapkan lokasi sebagai infrastruktur kritis, membangun zona energi terbarukan, dan mengembangkan “taman pusat data” dengan pasokan listrik khusus, menurut Linesight.
Strategi semacam ini dapat mengurangi kehilangan transmisi, menarik investasi jangka panjang, dan memastikan proyek tidak terhambat oleh keterbatasan jaringan, kata Garvan Barry, direktur regional untuk Asia Utara di konsultan konstruksi global Linesight, kepada Asian Power.
Kawasan ini merupakan pasar pusat data dengan pertumbuhan tercepat di dunia, didorong oleh adopsi kecerdasan buatan (AI), peluncuran 5G, dan permintaan cloud. Pada 2024, kawasan ini mencatat empat dari sepuluh kesepakatan global terbesar, dan kapasitasnya diproyeksikan mencapai 94,4 gigawatt pada 2028, kata Barry dalam balasan email.
Pasar berkembang seperti India, Malaysia, dan Indonesia menarik investor dengan harga lahan rendah dan kebijakan yang mendukung, sementara Singapura dan Jepang menawarkan kerangka regulasi yang kuat serta jaringan listrik yang andal.
Namun, pasokan listrik masih menjadi hambatan kritis. India dan Vietnam menghadapi masalah kapasitas jaringan, sedangkan Singapura dan Australia berhadapan dengan infrastruktur yang menua. Di Taiwan, proyek baru di wilayah utara dibatasi hanya 5 megawatt akibat kekurangan kapasitas jaringan.
Berikut kelanjutan wawancaranya.
Apakah Asia-Pasifik menjadi destinasi utama pusat data?
Asia-Pasifik tetap menjadi destinasi utama bagi operator pusat data global. Kawasan ini terus mencatat investasi besar di sektor pusat data, didorong oleh adopsi cepat AI, peluncuran 5G secara luas, transformasi digital, serta meningkatnya permintaan cloud, dan pada 2024 mencatat nilai transaksi tertinggi secara global dengan empat dari sepuluh kesepakatan terbesar.
Pasar berkembang seperti India, Malaysia, dan Indonesia menawarkan harga lahan rendah, kebijakan pro-investasi, dan ruang untuk infrastruktur berskala AI, sedangkan ekonomi maju seperti Singapura dan Jepang menyediakan kerangka regulasi yang kuat serta keandalan jaringan.
Construction Market Insights terbaru dari Linesight mencatat bahwa tujuh dari sepuluh negara dengan jangkauan 5G mandiri tertinggi berada di kawasan ini, dengan India di 51% dan Singapura di 37%. Pasar seperti Jepang, Singapura, dan Australia juga masuk dalam 20 besar dunia dalam kesiapan AI dan infrastruktur digital. Kapasitas pusat data di kawasan ini (tidak termasuk Jepang) diproyeksikan tumbuh stabil dengan CAGR 14,2% antara 2024 dan 2028 dan mencapai 94,4 gigawatt pada 2028.
Namun, lingkungan energi menjadi pedang bermata dua. Meski banyak pasar masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, kawasan ini menyaksikan lonjakan investasi energi terbarukan, terutama di sektor surya, angin, dan panas bumi, diiringi program modernisasi jaringan untuk memenuhi target dekarbonisasi. Bahkan dilaporkan lebih dari 70% pertumbuhan kapasitas energi terbarukan global pada 2024 terjadi di Asia, yang menempatkan kawasan ini sebagai penopang ekspansi pusat data berkelanjutan.
Seberapa banyak peluang pusat data yang hilang akibat keterbatasan infrastruktur energi dan transmisi?
Meski Asia-Pasifik tetap menjadi kawasan dengan pertumbuhan pusat data tercepat, lanskap energi kini menjadi faktor risiko utama bagi proyek pusat data, dan ini menjadi perhatian penting bagi para pengembang.
Infrastruktur jaringan dan ketersediaan listrik kesulitan mengikuti permintaan yang terus meningkat untuk pasokan daya yang andal dan berkapasitas tinggi. Negara berkembang seperti India dan Vietnam, misalnya, mengalami keterbatasan kapasitas. Sementara itu, ekonomi maju seperti Singapura dan Australia menghadapi aset jaringan yang menua dan berisiko mengganggu stabilitas.
Di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Australasia, pipeline pembangunan pusat data melonjak hampir dua kali lipat antara kuartal II 2024 dan kuartal II 2025, menandakan optimisme pasar yang kuat. Namun, hanya 28% dari pipeline ini yang masuk tahap eksekusi, turun dari 31% setahun sebelumnya, yang menyoroti perlambatan realisasi proyek.
Akses ke daya juga tetap menjadi tantangan kritis dari sisi eksekusi. Beberapa pengembang menyebut ketersediaan energi dan kendala transmisi sebagai faktor yang menunda aktivasi lokasi dan eksekusi proyek.
Bagaimana infrastruktur energi yang efisien dapat mempercepat pertumbuhan pasar pusat data?
Infrastruktur energi yang efisien dan siap terhubung ke jaringan merupakan pengungkit besar bagi ekspansi pusat data Asia-Pasifik. Namun, keterbatasan infrastruktur energi justru berpotensi menghambat pertumbuhan tersebut.
Di Taiwan, misalnya, proyek pusat data baru di wilayah utara dibatasi hanya 5 megawatt (MW) karena keterbatasan kapasitas jaringan dan kebutuhan untuk menyeimbangkan permintaan energi. Pembatasan yang diterapkan oleh Taiwan Power Company ini bertujuan menjaga konsumsi energi dan memastikan pasokan listrik stabil bagi seluruh pengguna.
Lokasi pusat data mungkin sudah siap dalam segala aspek lainnya, tetapi keterlambatan suplai daya dapat menunda penyelesaian proyek selama bertahun-tahun. Hal ini bahkan bisa membuat proyek kehilangan kelayakan bisnis dan akhirnya dibatalkan.
Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi kesenjangan ini?
Energi terbarukan menjadi opsi paling layak untuk menjembatani kesenjangan antara ketersediaan listrik dan keterbatasan jaringan akibat lonjakan permintaan dari pusat data di Asia-Pasifik.
Kami melihat banyak negara menggelontorkan investasi besar untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan mereka. India menargetkan adopsi energi terbarukan pada 2030, dengan peningkatan besar dalam transmisi, penyimpanan, dan koneksi lintas batas yang sedang berlangsung.
Singapura yang terbatas lahan dan berpotensi rendah di energi terbarukan berfokus pada kolaborasi lintas batas dan impor energi pintar serta mengurangi ketergantungan pada gas, sementara Korea Selatan dan Jepang melakukan investasi besar pada angin lepas pantai dan hidrogen sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi.
Bagaimana pembuat kebijakan dapat menciptakan iklim investasi yang menarik bagi sektor swasta di energi terbarukan yang sesuai dengan kebutuhan operator pusat data skala besar?
Pemerintah perlu mengakui infrastruktur pusat data sebagai bagian kritis dari infrastruktur nasional untuk menjamin kebutuhan ekonomi masa depan negara. Dengan begitu, negara dapat mulai menyusun strategi energi mereka mengacu pada kebutuhan ini. Inggris, misalnya, baru saja menetapkan pusat data sebagai infrastruktur nasional kritis, sejajar dengan layanan vital lain seperti air dan energi.
Salah satu strategi perencanaan inovatif adalah mengembangkan koridor energi strategis untuk kelas aset baru seperti pusat data. Hal ini dapat mencakup integrasi zonasi pusat data dengan perencanaan infrastruktur energi, memprioritaskan penggunaan lahan dekat PLTA, ladang surya, dan koridor angin, serta mendorong ko-lokasi pusat data dengan taman energi untuk mempercepat pembangunan dengan infrastruktur bersama.
Strategi lain adalah mendorong pengembangan kampus multi-fungsi untuk teknologi masa depan atau “taman pusat data” dengan pasokan listrik khusus. Pendekatan ini dapat mendorong lahirnya laboratorium berbasis AI, klaster komputasi berperforma tinggi, dan pusat riset dalam satu kawasan pusat data. Hal ini juga menciptakan ekosistem inovasi yang menarik investasi jangka panjang sekaligus talenta digital.
Selain ketersediaan listrik, operator pusat data skala besar juga membutuhkan akses ke energi bersih seiring dengan percepatan target dekarbonisasi sektor ini. Beberapa pemerintah, seperti Australia, kini berinvestasi dalam zona energi terbarukan (REZ)—klaster proyek energi bersih berskala besar yang mencakup pembangkit baru, infrastruktur penyimpanan, dan transmisi bertegangan tinggi.