
Bagaimana Jepang dapat menghidupkan kembali komitmennya pada energi terbarukan
Negara tersebut menghadapi tantangan dari sisi sistem maupun regulasi.
Jepang dapat mencapai target kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030 dengan mengatasi hambatan struktural dan kelembagaan, menurut laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Dalam laporannya, IEEFA mencatat sepuluh utilitas listrik utama Jepang menguasai hampir 75% kapasitas listrik terpasang, tetapi hanya memiliki kurang dari 0,3% kapasitas energi terbarukan. Selain itu, 52 pengembang proyek energi terbarukan keluar dari pasar pada 2024, termasuk delapan yang bangkrut.
Michiyo Miyamoto, spesialis pembiayaan energi IEEFA untuk Jepang, mengatakan tantangan pertumbuhan energi terbarukan di Jepang bukan bersifat teknologi atau ekonomi, melainkan sistemik dan regulasi.
“Faktor penyebabnya antara lain keraguan politik dan korporasi untuk beralih ke energi terbarukan serta terbatasnya pemanfaatan kebijakan yang ada. Kendala teknis dan infrastruktur yang menimbulkan curtailment, serta perbedaan geografis antara biaya dan manfaat pengembangan energi terbarukan, semakin menambah hambatan,” kata Miyamoto.
Namun, sejumlah prefektur seperti Fukushima, Saga, Akita, dan Hokkaido menunjukkan kemajuan. Mereka telah menetapkan target energi terbarukan lokal, melibatkan komunitas, dan menggerakkan pembiayaan regional untuk mendukung ekspansi energi bersih.
Miyamoto menilai Tokyo sebaiknya fokus memperbesar inisiatif ini ketimbang terus bergantung pada energi fosil sebagai cadangan.
“Prioritasnya harus mencakup reformasi aturan akses jaringan, modernisasi desain pasar, penguatan penegakan kewajiban Non-Fossil Certificate (NFC) bagi utilitas besar, serta membuka jalur implementasi seperti power purchase agreements (PPA),” ujarnya.
Laporan tersebut juga menyoroti Jepang belum memiliki kerangka kerja komprehensif untuk pembangunan transmisi. Masih terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan energi terbarukan di wilayah perkotaan dan pedesaan.
“Di prefektur seperti Fukushima, Akita, Saga, dan Hokkaido, kepemimpinan lokal yang proaktif, penetapan zona sejak dini, investasi transmisi, serta keterlibatan dengan pembiayaan lokal telah memungkinkan pertumbuhan energi terbarukan yang nyata. Wilayah-wilayah ini bisa menjadi model strategi lokal yang berhasil,” jelas Miyamoto.
Laporan IEEFA mendorong Jepang mempercepat implementasi energi terbarukan dengan menetapkan target khusus untuk melipatgandakan kapasitas melalui lelang dan mandat pengadaan, serta memperluas PPA korporasi dan komunitas lewat dukungan regulasi dan finansial.
“Lelang terbaru Jepang telah membuktikan kelayakan proyek tenaga angin lepas pantai dan membangun kerangka kerja yang bisa direplikasi untuk skala cepat. Negara ini berpeluang menarik modal domestik maupun global ke sektor yang sebelumnya lesu, dengan memanfaatkan regulasi jelas, kompetisi sehat, dan infrastruktur khusus,” ujar Miyamoto.
“Jika hambatan koneksi jaringan dan rantai pasok dapat diatasi, Jepang berpotensi menjadi pusat tenaga angin lepas pantai terdepan di Asia,” tambahnya.