Perang di Ukraina dapat membuka jalan bagi ketahanan energi Asia
Kepemilikan domestik atas pembangkit listrik akan menjamin pasokan energi yang memadai.
Sementara krisis energi global yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina telah berdampak negatif terhadap sebagian besar pasar di Asia, Executive Director International Energy Agency (IEA) Fatih Birol melihat ini sebagai milestone transformasi industri energi kawasan. Hal ini diamini oleh ACE Partners yang mengatakan bahwa krisis dapat menyebabkan Asia menjadi mandiri dalam hal energi, dan didukung oleh produksi batu bara lokal.
Menurut Birol, krisis ini telah mengakibatkan lonjakan harga spot rata-rata gas alam cair (LNG) dan pasar bahkan mungkin akan lebih ketat tahun depan jika Cina mengimpor lebih banyak LNG karena ekonominya pulih di tengah terbatasnya pasokan sekitar 20 miliar kubik meter.
“Kemandirian energi di kawasan ini diproyeksikan [berada] dari waktu ke waktu. Namun, batu bara diperkirakan akan melawan tren tersebut dengan menyediakan pasokan energi yang aman melalui ketergantungannya pada produksi dalam negeri,” kata Managing Partners Asia Clean Energy (ACE) Mark Lister dan Peter DuPont; dan Communication Assistant Shayan Amin kepada Asian Power.
“Banyak negara yang mendorong teknologi terdepan tidak hanya didorong oleh komitmen iklim saja. Tetapi ini untuk keamanan energi dan mereka ingin mengambil posisi di bab selanjutnya dalam teknologi industri,”kata Birol.
Pasar energi Asia
India, negara yang sangat bergantung pada impor minyak hingga lebih dari 80% kebutuhannya dan 55% gas, juga sangat rentan terhadap volatilitas harga, menurut Vibhuti Garg, direktur Asia Selatan di Institute for Energy Economics and Energy Analysis (IEEFA).
Di sektor listrik India, banyak kapasitas yang terlantar karena tingginya harga LNG. Permintaan tambahan dipenuhi oleh lebih banyak energi terbarukan. Namun, Garg mengatakan tantangannya adalah mengerahkan sumber daya alternatif dalam waktu singkat.
READ MORE: Could coal-based power still get funding
Garg mengatakan hal ini memunculkan diskusi di beberapa daerah untuk menghidupkan kembali pembangkit batu bara dan meningkatkan penambangan untuk memenuhi permintaan. Meskipun sudah ada pipeline pembangkit batu bara yang sedang dibangun, belum ada pengumuman baru untuk pendirian pembangkit batu bara.
India bertujuan untuk mencapai nol bersih pada 2070 dan memiliki sumber bahan bakar non-fosil sekitar 50% dari total kapasitas tenaga listrik terpasang pada 2030. India juga berkomitmen untuk mengurangi intensitas emisi produk domestik bruto sebesar 45% hingga 30%, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, Hutan dan Perubahan Iklim.
Kamboja, Filipina, Thailand, dan Vietnam tertinggal di Asia Tenggara dalam hal kemandirian karena ketergantungan mereka pada impor energi yang disebabkan oleh pasokan energi yang terbatas dan paparan situasi ekonomi dan geopolitik, menurut ACE Partners.
Mengurangi emisi
Pasar Asia cenderung bergantung pada bahan bakar fosil seperti batu bara untuk mencapai keuntungan ekonomi dan memenuhi permintaan energi, tetapi gagal menerapkan langkah-langkah mitigasi pada emisi gas rumah kaca mereka, kata ACE Partners.
“Bahan bakar fosil datang dengan rangkaian, dan jalan menuju keamanan energi yang tak tertembus adalah dengan berinvestasi pada opsi energi terbarukan. Kepemilikan domestik dan kendali industri energi adalah kunci stabilitas ekonomi dan kemampuan untuk mengarahkan sumber daya ke energi terbarukan untuk menciptakan pasokan energi yang bertahan lama dan layak,” kata mereka.
Menurut IEA, bahan bakar fosil menyumbang lebih dari 90% pertumbuhan permintaan energi di Asia Tenggara, dengan pangsa batu bara dalam pasokan energi meningkat dari 8% menjadi 26% antara 2000 dan 2020. Minyak juga meningkat lebih dari 40% sejak 2000 tetapi kemudian turun menjadi 32%.
Dalam hal pembangkit listrik, pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang lebih dari 40% dari total pada 2020, pembangkit minyak anjlok hingga 80%, dan energi terbarukan, dipimpin oleh tenaga air, angin, dan matahari, menyumbang kurang dari 10% dari keseluruhan pembangkit.
Di samping penyebaran energi terbarukan, polusi dari pembangkit batu bara yang ada juga harus ditangani. ACE Partners mengatakan ada teknologi modern yang dapat dimanfaatkan untuk melakukannya yaitu pembangkit listrik tenaga batu bara supercritical dan ultra-supercritical.
Pembangkit listrik tersebut dapat terdiri dari 83% dari kapasitas terpasang di kawasan itu, kata mereka.
Menurut IEA, permintaan energi Asia Tenggara diperkirakan akan meningkat 3% per tahun hingga 2030 didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di bawah kebijakan saat ini, kawasan ini diperkirakan akan memenuhi sekitar 75% dari peningkatan energi yang diharapkan dengan bahan bakar fosil.
“Retrofit semua pembangkit listrik tenaga batu bara dapat mengurangi emisi gas rumah kaca secara substansial. Pengembangan teknologi tenaga batu bara dengan efisiensi tinggi dan rendah emisi perlu disertai dengan kebijakan yang menguraikan standar emisi yang ketat dan mengamanatkan transisi ke teknologi canggih ini,” kata ACE Partners.
Merombak lanskap investasi
Biaya tambahan merupakan penghalang besar untuk menerapkan perubahan skala besar dalam infrastruktur, kata ACE Partners. Karena Asia Tenggara diperkirakan akan ada tambahan 45 juta pengguna listrik pada 2030. Kawasan ini harus memperbaiki pilihan untuk mengatasi peningkatan tersebut dengan memahami dan menstandarkan pasar untuk memaksimalkan potensi pengenalan dan penggunaan peralatan hemat energi.
Menurut IEA, melihat adanya $70 miliar investasi tahunan di kawasan tersebut di bidang energi antara 2016 dan 2020, di mana sekitar 40% di antaranya digunakan untuk teknologi energi bersih, dan sebagian besar lainnya untuk fotovoltaik surya, angin, dan jaringan listrik.
Di bawah Skenario Pembangunan Berkelanjutan yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu hingga “jauh di bawah” dua derajat Celcius, dan akses energi serta target polusi udara, investasi energi di wilayah tersebut dapat mencapai $190 miliar pada 2030.
“Lanskap investasi energi sangat membutuhkan perombakan untuk mendorong aliran dana ke opsi energi bersih dengan lebih cepat dan mudah. Ini perlu disertai dengan dorongan bersama dari negara-negara untuk membuat ekonomi mereka lebih hemat energi,” kata ACE Partners.
Untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan, kebijakan yang menarik minat investor harus diperkenalkan melalui skema insentif, kampanye kesadaran, jalur opsi pembiayaan, dan program pengadaan.
Berinvestasi dalam teknologi baru akan menjadi kunci dalam memastikan keandalan energi terbarukan dan kondusif untuk keamanan energi dengan mengurangi permintaan bahan bakar sambil mempertahankan pasokan energi, kata mereka.
Salah satu langkah yang dapat ditiru negara adalah Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022 Amerika Serikat yang akan mengucurkan sekitar $369 miliar untuk meningkatkan keamanan energi dan mencapai tujuan iklim. Birol dari IEA mengatakan bahwa ini akan mempercepat penyebaran tenaga angin onshore dan offshore, hidrogen, dan nuklir.
Menurut IEA, tujuan dari RUU tersebut termasuk menurunkan biaya energi dan meningkatkan investasi iklim untuk mengurangi emisi karbon hingga 40% pada 2030.
Birol menambahkan penting bagi Asia Tenggara untuk mengambil langkah konkrit dalam integrasi sistem ketenagalistrikan karena akan menguntungkan negara-negara peserta. Pada Juni, Proyek Integrasi Tenaga Listrik Laos-Thailand-Malaysia-Singapura mulai beroperasi.
ACE Partners mengatakan individu dan rumah tangga dapat diperkenalkan dengan transisi energi melalui program kesadaran publik dan kebijakan efektif yang dapat mempromosikan memasak secara bersih, dan penggunaan peralatan hemat energi. “Negara-negara Asia telah melakukan pekerjaan yang signifikan dalam mengatasi perbaikan infrastruktur yang diperlukan untuk kemajuan dalam hal keamanan energi dan transisi energi terbarukan. Namun masih banyak lagi yang perlu dilakukan agar tujuan iklim dapat tercapai,” kata ACE Partners.
“Kesenjangan antara tujuan dan aktualitas dapat dikaitkan dengan luasnya perubahan yang diperlukan serta inersia,” kata mereka menambahkan.
Pembiayaan yang sulit untuk batu bara
Bahkan jika beberapa negara seperti India sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan penambangan batu bara dan membuat pembangkit batu bara baru untuk keamanan energi, Garg mengatakan bahwa meningkatkan pembiayaan untuk proyek semacam itu akan sulit kecuali jika didukung oleh bank sektor publik.
Garg mengatakan banyak pembiayaan sekarang dikaitkan dengan tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola atau pembiayaan terkait keberlanjutan.
Di sisi lain, harga energi terbarukan telah turun dalam dekade terakhir, dengan penyimpanan tenaga surya dan baterai sebesar 90% dan tenaga angin sekitar 50%. India melihat 15,5 gigawatt energi terbarukan ditambahkan dan sekitar $14,5 miliar dalam investasi pada tahun fiskal (TA) 2021/22. Selama delapan bulan pertama FY2022/23, negara ini telah menarik investasi sebesar $11,7 miliar.
Gangguan yang disebabkan pasokan telah mendorong harga modul akhir-akhir ini tetapi sudah mulai terkoreksi dan akan turun lagi di tahun-tahun mendatang, katanya.
“Dari sudut pandang daya saing harga, energi terbarukan adalah jalan ke depan bagi India untuk memenuhi kebutuhan energinya, yang benar-benar diperlukan adalah menyiapkan solusi penyimpanan energi skala besar, yang sejauh ini terbatas di India,” Garg menambahkan bahwa Solar Energy Corporation of India dan National Thermal Power Corporation mengeluarkan tender untuk 4.000MW untuk penyimpanan.
“Begitu kita memiliki cukup penyimpanan yang dibuat, saya pikir energi terbarukan dapat dilihat sebagai solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi dengan lebih andal. Mengingat intermittency energi terbarukan sekarang, dan kecuali kita memiliki jenis penyimpanan yang baik sedang dibuat, akan sulit bagi India untuk sepenuhnya bergantung pada energi terbarukan,” katanya.