Asia berjuang dengan target pembayaran G20 | Asian Business Review
, APAC
1187 views
/chartchaik1 from Envato

Asia berjuang dengan target pembayaran G20

Tujuan utama adalah agar pembayaran cross-border dapat menyamai "kecepatan internet."

Bank-bank di Asia berlomba memenuhi target pembayaran cross border G20 dalam hal kecepatan, biaya, dan transparansi. Namun, infrastruktur yang usang, biaya tinggi, dan aturan yang terfragmentasi menghambat transfer pembayaran real-time.

“Di sebagian besar negara maju, skema pembayaran domestik kini bersifat instan,” kata Mishal Ruparel, Chief Commercial Officer di Banking Circle, kepada Asian Banking and Finance pada acara Sibos 2024 di Beijing.

“Sebagai contoh, di Inggris ada FPS (Faster Payments System); di Australia ada NPP (New Payments Platform); dan di Singapura ada FAST (Fast And Secure Transfers). Sistem-sistem ini sudah tersedia. Namun, begitu melintasi batas negara, infrastrukturnya tidak terbangun dengan baik,” tambahnya.

Menjelang tenggat  2027, bank-bank di 15 pasar global masih kesulitan untuk mencapai target G20, yaitu 75% pembayaran cross-border harus dikreditkan kepada penerima dalam waktu satu jam, menurut World Report Series 2025 tentang pembayaran yang dirilis oleh Capgemini Research Institute di September.

Sebanyak 67% bank berada di kategori “kesiapan sedang” dalam aspek bisnis dan teknologi, sementara hanya 5% yang berhasil mencapai skor tinggi dalam kedua aspek tersebut, menempatkan mereka sebagai pemimpin dalam adopsi pembayaran instan.

Ruparel menjelaskan bahwa pembayaran cross border, terutama di sektor business-to-business, sering menghadapi hambatan karena melibatkan banyak bank perantara yang bisa menyebabkan keterlambatan dan biaya tambahan.

Susana Delgado, Managing Director di Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), menyatakan bahwa tantangan terbesar adalah menskalakan sekitar 80 sistem pembayaran instan global untuk mencapai interoperabilitas lintas batas.

“Kebutuhan akan interoperabilitas sangat penting untuk menskalakan model ini,” ujar Delgado, seraya menyoroti proses integrasi yang rumit.

Kesepakatan bilateral, seperti antara Singapura dan Thailand atau Singapura dan Malaysia, menunjukkan betapa kompleksnya proses ini.

Ruparel menyebutkan bahwa infrastruktur lama yang kompleks menjadi masalah utama. “Mencapai tingkat adopsi ini dengan beberapa operator besar selalu membutuhkan waktu.”

Adopsi luas sistem baru seperti teknologi blockchain dan digital ledger membutuhkan kerja sama sistem pembayaran global untuk mengatasi keterbatasan teknis dan memastikan kepatuhan terhadap aturan, tambahnya.

Delgado menjelaskan persyaratan kepatuhan untuk transaksi internasional dan domestik berbeda. Sistem pembayaran real-time memproses transaksi secara berkelanjutan dan individual, bukan secara batch.

“Mereka memerlukan skema One-Leg-Out untuk mengenali bahwa pembayaran berasal dari luar negeri, sehingga memungkinkan bank penerima untuk melakukan pemeriksaan AML (anti-money laundering) dan kepatuhan,” jelasnya.

Ini menambah lapisan kompleksitas karena setiap negara memiliki standar yang berbeda.

Ruparel menegaskan bahwa tujuan akhir adalah agar pembayaran cross-border menyamai "kecepatan internet." Ini mencakup penghapusan keterlambatan dan transparansi biaya yang memerlukan koordinasi global antara bank, regulator, dan penyedia teknologi.

Teknologi digital ledger dan tokenisasi menawarkan potensi besar untuk menyederhanakan pembayaran cross-border, ujar Francois Verlaine, Managing Director di Standard Chartered.

“Kami telah mendiskusikan teknologi digital ledger, yaitu single ledger yang dapat diakses oleh banyak pihak,” kata Verlaine. “Tokenisasi menawarkan efisiensi revolusioner dibandingkan dengan perbaikan bertahap dalam keuangan tradisional.”

Masa depan pembayaran

Verlaine menambahkan bahwa teknologi ini dapat menghilangkan kebutuhan rekonsiliasi antara catatan yang terfragmentasi, menciptakan aliran informasi yang mulus, akurat, dan efisien antara pihak-pihak yang terlibat.

Seiring perkembangan teknologi, para pemimpin industri tetap optimistis namun berhati-hati mengenai masa depan pembayaran. Capgemini memperkirakan pembayaran instan akan mencakup 22% transaksi nontunai pada 2028.

Wilayah Asia Pasifik memimpin tren ini dengan pertumbuhan transaksi nontunai sebesar 20% per tahun, melampaui pertumbuhan di Eropa (16%) dan Amerika Utara (6%).

Capgemini juga memproyeksikan solusi account-to-account dapat mengurangi pertumbuhan volume transaksi kartu kredit hingga 25%, yang berpotensi menghilangkan miliaran dolar pendapatan industri.

Open finance, yang menjadi pendukung utama pembayaran instan, masih berada dalam tahap awal secara global dengan inisiatif yang dipimpin oleh Australia, Brasil, India, dan Singapura. Namun, adopsinya masih terbatas karena interface pemrograman aplikasi (API) yang tidak konsisten dan kurangnya insentif untuk berbagi data.

Hanya 17% bank yang telah melakukan uji coba atau meluncurkan produk open finance, sementara 23% masih menunggu panduan regulasi.

Ruparel membayangkan masa depan di mana Web 3.0 dan blockchain memungkinkan transaksi global yang instan dan tanpa hambatan.

Delgado, di sisi lain, memperkirakan bahwa lanskap ini akan tetap terfragmentasi dalam waktu dekat.

“Saya memperkirakan fragmentasi ini akan terus ada, yang sekaligus membawa dampak positif berupa adanya opsi yang beragam,” katanya. Namun, dia menambahkan, pemenang utama dari ekosistem yang terus berkembang ini adalah end-user, karena bank mulai membuka diri terhadap inovasi tersebut.

Follow the link s for more news on

Asia-Pasifik mungkin tidak mencapai target energi terbarukan

Negara-negara di kawasan itu harus menarik investasi untuk memajukan tujuan energi bersih mereka.

Clone of BCA menjalankan komitmen terhadap keuangan berkelanjutan

Bank asal Indonesia ini mempertimbangkan aspek lingkungan dan tata kelola dalam keputusan pemberian pinjaman.

K3Mart memadukan budaya Korea dan produk UMKM lokal dalam satu gerai

Convenience store itu menyediakan perbandingan produk impor dan produk lokal sebesar 50:50 di 30 outlet mereka.

Analisa data, kunci kesuksesan AIA Indonesia dalam mengatasi penipuan

Prosedur operasional standar dan penyidik yang terlatih menjaga AIA Indonesia tetap terkendali.

KCG menguasai brand positioning untuk segmen premium di Indonesia

Mereka mengadopsi solusi berbasis teknologi terbaru untuk sukses mengelola 92 toko ritel di 20 kota di Indonesia.

Sistem JAMALI terancam oleh ancaman keandalan dan efisiensi

Sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI) menyuplai 70% listrik Indonesia untuk 160 juta orang.

Bacha Coffee menguasai retail kaya sensorik di Jakarta

Memadukan warisan dan kemewahan, Bacha Coffee Plaza Senayan menghadirkan pengalaman unik bagi pecinta kopi Indonesia.