Perusahaan asuransi Jepang gencarkan teknologi dalam menghadapi risiko bencana | Asian Business Review
, Japan
1408 views
/Jase Bloor from Unsplash

Perusahaan asuransi Jepang gencarkan teknologi dalam menghadapi risiko bencana

Pelaku industri mengandalkan analisis data untuk meningkatkan manajemen risiko.

Kenaikan suku bunga di Jepang diperkirakan akan mengurangi minat terhadap asuransi umum dan memperlebar kesenjangan perlindungan, dengan banyak perusahaan asuransi yang masih kesulitan menghasilkan keuntungan setelah satu tahun penuh bencana alam yang merugikan.

Untuk mengatasi hal ini, perusahaan asuransi di Jepang semakin mengandalkan teknologi dan analisis data guna meningkatkan manajemen risiko serta mengembangkan produk baru, kata Andy Tran, Direktur dan head Property Underwritingi Globals untuk Asia-Pasifik di Swiss Re Asia Pte. Ltd. Japan Branch, kepada Insurance Asia.

Andy Tran, director and head of Property Underwriting Globals for Asia-Pacific at Swiss Re Asia

"Kualitas data yang Granular sangat penting untuk penetapan harga dan inovasi produk," katanya dalam wawancara melalui Zoom. "Kami berinvestasi dalam alat seperti hazard mapping dan rapid damage assessment untuk memberikan wawasan yang tepat waktu bagi klien kami."

Peristiwa terbaru, termasuk gempa berkekuatan 7,1 di Pulau Kyushu yang melukai setidaknya 16 orang, serta Topan Shanshan yang menewaskan sedikitnya enam orang. Kedua peristiwa terjadi pada Agustus yang menunjukkan rendahnya kesiapsiagaan bencana di Jepang, katanya.

"Peringatan mega-gempa yang baru-baru ini dikeluarkan oleh pemerintah Jepang menjadi pengingat tegas akan potensi kehancuran dan urgensi untuk meningkatkan pemodelan risiko," tambahnya.

Beberapa perusahaan asuransi Jepang telah mengurangi kapasitas perlindungan terhadap bencana alam (nat cat capacity), terutama untuk risiko banjir, menurut Shinichi Kandatsu, head Commercial Risk untuk Jepang di Aon Plc, kepada Insurance Asia.

Shinichi Kandatsu, head of commercial risk for Japan at Aon

Namun, ketergantungan Jepang pada sistem tradisional, terutama di daerah pedesaan, menjadi tantangan bagi pengumpulan data secara real-time. Kesenjangan dalam integrasi data membuat perusahaan asuransi kesulitan menerapkan solusi digital yang komprehensif di seluruh sektor.

"Jepang sangat inovatif, namun masih terdapat aspek tradisional yang mempersulit pengumpulan data," kata George Sherriff, CEO Gallagher Re Jepang. Meski begitu, perusahaan asuransi terus meningkatkan infrastruktur data mereka untuk membangun ekosistem manajemen risiko yang lebih tangguh dan responsif.

George Sherriff, Japan CEO at Gallagher Re

Kandatsu mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang masih tertinggal dibandingkan rekan-rekan mereka di Barat dalam memanfaatkan solusi berbasis data secara penuh untuk menangani risiko seperti bencana alam, gangguan rantai pasok, dan insiden siber.

"Perusahaan-perusahaan Jepang menghadapi lingkungan yang menantang, tidak hanya di pasar properti dan tanggung jawab hukum, tetapi juga dalam asuransi siber dan kecelakaan," katanya. Ia menambahkan bahwa terdapat dorongan yang lebih luas dari regulator dan industri untuk meningkatkan profitabilitas underwriting di pasar asuransi Jepang yang sangat kompetitif.

Pemerintah akan mulai menerapkan Economic Solvency Ratio (ESR) pada 2025 untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban utang jangka panjang, yang menjadi indikator kesehatan keuangan mereka.

"Fokus pada kesehatan keuangan berarti perusahaan asuransi kini harus lebih selaras dalam praktik underwriting mereka dengan manajemen risiko," kata Teruki Morinaga, Direktur di Fitch Ratings, dalam email kepada Insurance Asia. Ia memperkirakan bahwa penerapan ESR akan mendorong manajemen risiko yang lebih ketat di kalangan perusahaan asuransi.

Teruki Morinaga, director at Fitch Ratings

Sherriff mengatakan bahwa perusahaan asuransi Jepang harus beradaptasi dengan proses underwriting yang lebih disiplin. "Fokus pada profitabilitas underwriting telah menyebabkan pengurangan kapasitas, kenaikan premi, dan pengecualian pada cakupan yang menguntungkan," tambahnya, seraya mencatat bahwa langkah-langkah ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang.

Namun, rasio kerugian tetap tinggi, terutama dalam asuransi properti, yang masih menghadapi lonjakan klaim akibat bencana alam yang sering terjadi, katanya.

Menurut GlobalData, industri asuransi umum Jepang diproyeksikan tumbuh 2,2% per tahun menjadi $82,5 miliar (¥12,7 triliun) dari $76 miliar (¥11,7 triliun) pada 2024. Sektor ini diperkirakan tumbuh 1,7% pada tahun ini, didukung oleh meningkatnya permintaan polis yang mencakup bencana alam dan kompensasi pekerja.

Populasi dan infrastruktur yang menua

Sementara itu, populasi Jepang yang menua dan infrastruktur yang usang semakin memperumit profil risiko industri. Kenaikan premi dibatasi oleh kekhawatiran akan keterjangkauan.

"Urbanisasi padat Jepang, ditambah dengan infrastruktur yang menua, menciptakan risiko yang semakin kompleks," kata Tran. Tantangan ini juga mencakup masalah sosial-ekonomi terkait asuransi rumah kosong di daerah pedesaan, di mana lebih dari satu juta rumah kosong tetap rentan terhadap bencana alam, tambahnya.

Kode Bangunan di Tokyo telah berkembang untuk menahan gempa besar, tetapi masih banyak bangunan lama di daerah pedesaan.

"Standar konstruksi baru di Jepang termasuk yang tertinggi secara global, terutama dalam ketahanan gempa, tetapi daerah pedesaan dengan rumah-rumah lama menghadirkan tantangan yang berbeda," kata Morinaga.

Kode ini tidak diterapkan secara nasional, yang memaksa perusahaan asuransi mengenakan premi lebih tinggi pada bangunan lama yang lebih rentan terhadap kerusakan.

Kandatsu juga mengatakan bahwa perusahaan semakin menyadari risiko-risiko yang saling terkait ini. "Bisnis di Jepang mengenali risiko rantai pasok, tren pasar yang berubah cepat, dan risiko siber sebagai kekhawatiran utama," katanya, mengutip survei Global Risk Management Aon 2023.

Risiko-risiko ini sering kali saling berkaitan, berpotensi menyebabkan gangguan bisnis yang dapat berdampak luas pada perekonomian.

"Perusahaan Jepang perlu melindungi tidak hanya aset fisik tetapi juga dari gangguan bisnis akibat perubahan rantai pasok dan pasar," kata Kandatsu, menekankan pentingnya solusi manajemen risiko yang komprehensif.

Di sisi lain, Tran mengatakan bahwa pasar asuransi siber global diperkirakan mencapai $17 miliar pada 2024, didorong oleh meningkatnya permintaan dan kompleksitas insiden siber.

"Risiko siber adalah ‘known unknown’, sebuah sektor yang terus berkembang dan membutuhkan batasan yang ketat dalam underwriting," katanya, menyoroti perlunya pendekatan yang terstruktur untuk menilai dan menentukan biaya cakupan siber.
 

Follow the link for more news on