Lippo Malls Indonesia terus beradaptasi dengan tren yang berubah dengan cepat
CEO Henry Riady mengungkapkan rahasia menjaga 70 mal di 40 kota dan berencana mengembangkan lebih banyak lagi.
Lippo Malls Indonesia (LMI) mengamati dengan cermat bagaimana pengalaman dan tren mal berubah dengan lebih cepat. Meskipun tren di masa lalu bertahan selama lima hingga sepuluh tahun, saat ini, perubahan terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat, sehingga memaksa operator mal untuk segera mendefinisikan ulang pengalaman.
“Tidak ada tren yang ‘permanen’ di mana dalam waktu tiga hingga empat tahun kami mencoba untuk mengupgrade mal kami,” kata CEO Lippo Malls Henry Riady kepada Retail Asia. Sebagai operator mal terbesar di negara ini, LMI dengan cekatan merangkul fleksibilitas ini, secara konsisten menyesuaikan setiap mal dengan demografi yang berbeda di seluruh negeri.
Seperti yang diungkapkan Henry: “Setiap kota memiliki konsep yang berbeda-beda, namun yang terpenting adalah itu tersebut unik dan mampu menjadi destinasi.”
Di tengah pandemi, sebagai contoh, Henry mengenang bagaimana masyarakat mencari area terbuka yang luas. Namun kecenderungann ini tidak berlangsung lama; karena seiring dengan meredanya pandemi, daya tarik kenyamanan dalam ruangan kembali mendominasi.
Saat ini, Henry mengatakan ia melihat adanya tren baru yang bertumpu pada fakta bahwa masyarakat mengunjungi mal tidak lagi sekadar untuk berbelanja. Oleh karena itu, mal berusaha untuk memberikan pengalaman yang lebih mendalam atau kaya bagi pengunjungnya dengan menghadirkan beragam pilihan hiburan dan F&B yang menarik.
Bagi LMI, ketika tren fesyen bangkit kembali, mereka harus meningkatkan kembali pengalaman berbelanja agar pengunjung merasa berada di tempat yang tepat untuk mengaktualisasikan gaya hidup mereka. Untuk mencapai hal tersebut, Henry mengatakan mereka harus berubah dari zonasi produk dan layanan berdasarkan kategori menjadi berpedoman pada pola gaya hidup.
“Dulu, restoran itu seperti satu, atau hiburan itu menjadi satu. Sekarang restoran bisa berada dalam satu area, misalnya dengan area mainan atau hobi, hal-hal tersebut bisa disesuaikan berdasarkan gaya hidup,” kata Henry kepada Retail Asia.
Dengan adanya tren gaya hidup tersebut, diakuinya Lippo Malls kini mampu melayani masyarakat bahkan tanpa mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu, karena idenya adalah agar mereka dapat menikmati suasana atau menghadiri acara-acara yang sering diadakan di LMI.
Saat ini LMI mengoperasikan 70 mall di seluruh Indonesia yang tersebar di 40 kota di seluruh Indonesia. Mereka mengelola area kotor lebih dari 3 juta meter persegi dan memiliki 13.000 penyewa di seluruh mal.
Mal tersebar di Jabodetabek, Bandung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Indonesia Timur seperti Makassar, Manado, Bali, dan Kupang.
Menyesuaikan dengan demografi
Berdasarkan pengalaman, LMI melihat tren di setiap mal tidaklah sama. Jadi, tata ruang di seluruh mal yang dikelolanya berbeda-beda satu sama lain. “Bisa jadi kapasitas area F&B, Entertainment, atau Fashion tidak sama antara satu mal dengan mal lainnya,” kata Henry.
Namun, LMI berusaha untuk mempertahankan satu citra bahwa ini adalah mal untuk keluarga.
Menanggapi hal tersebut, Henry menjelaskan, bukan berarti LMI hanya diperuntukkan bagi satu segmen saja.
Hal ini tergambar dengan baik pada lokasi mal LMI yang sebagian besar berada di dekat kawasan perumahan dan memiliki grade yang berbeda-beda mulai dari tinggi, menengah, hingga rendah. Lokasi dengan tingkat daya beli masyarakat yang lebih tinggi tentunya akan dihadirkan dengan mall yang lebih mewah.
CEO mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, “Kami bahkan memiliki mal di kota yang mana pergi ke mal belum menjadi aktivitas normal bagi masyarakat di kota tersebut.” LMI membuat terobosan di kota tersebut, menjadikannya peluang untuk menawarkan brand atau peritel tertentu.
Tidak diragukan lagi, menghadapi berbagai arus demografi yang berbeda menghadirkan tantangan yang berat. Namun, dengan didukung oleh warisan sejarah dan tim yang berpengalaman, Lippo Malls mampu menghadapi tantangan ini secara langsung.
“Dengan pengalaman selama 34 tahun bersama tim kami yang juga sangat berpengalaman, kami mampu mengatasi tantangan untuk selalu mampu beradaptasi,” tegas Henry.
Strategi dan unggulan
Demi selalu memberikan pengalaman unik dari satu mal ke mal lainnya, Henry mengatakan strategi khusus adalah bekerja sama dengan peritel yang tidak ditemukan di mal lain. “Kami ingin setiap lokasi memiliki sesuatu yang berbeda,” katanya.
Dia menyebut Starbucks sebagai salah satu peritel yang memahami strategi ini karena mereka mewujudkan konsep berbeda untuk outletnya agar sesuai dengan pasar sekitarnya yang spesifik. Ada konsep yang lebih ditujukan untuk kaum muda dan konsep yang menarik bagi pelanggan yang lebih dewasa.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu keunggulan LMI adalah mal yang terletak di Senayan Park (Spark), tepat di pusat ibu kota Jakarta, yang dirancang untuk menjadi landmark yang memberikan kontribusi terhadap lanskap perkotaan yang terus berkembang. “Bukan hanya sekedar area yang berbentuk kotak, tapi di sini memiliki area open space,” kata Henry.
Lippo Malls Spark diluncurkan sebelum pandemi. Jadi bisa dikatakan LMI sudah memiliki konsep mal dengan ruang terbuka sebelum tren ini terjadi.
“Kami yakin mal ini akan menjadi salah satu destinasi [landmark] di pusat kota Jakarta seiring dengan pembangunan infrastruktur yang memudahkan masyarakat untuk menjangkau satu tempat ke tempat lainnya,” kata CEO tersebut kepada Retail Asia.
Dalam visinya, Henry melihat kehadiran mal menjadi sebuah oasis yang muncul di tengah hiruk pikuk Jakarta; sebuah pulau tempat individu diberikan pemandangan yang mirip dengan sebuah pulau yang dengan danau di dekatnya.
“Bahkan masyarakat [di sekitar] bisa menikmatinya tanpa harus masuk ke dalam gedung mal,” ujarnya. “Menurut saya, ini merupakan terobosan yang tidak bisa ditemukan di pusat kota lain yang juga terdapat skywalk, rooftop, dan hiburan yang unik dari tempat lain.”
Lippo Malls Spark disebutnya sebagai “mal 4.0” dari segi keunikannya, meski luasnya relatif lebih kecil. Untuk konteksnya, 1.0 mengacu pada mal LMI dengan luas 20,000 meter persegi – 30,000 meter persegi; 2,0 untuk area mal mulai dari 60.000 meter persegi hingga 90.000 meter persegi; dan 3.0, artinya 100.000 meter persegi – 130.000 meter persegi.
Terkait hal ini, raja pusat perbelanjaan ini menegaskan bahwa mal besar tidak selalu sukses dan menekankan pentingnya mengikuti tren. “Masyarakat akan mencari pengalaman baru meski malnya kecil dan bukan di jalan besar,” katanya.
Keahliannya yang fokus pada pengalaman baru dan penyesuaian dengan karakteristik lokasi dan masyarakat sekitar itulah yang menjadikan LMI sukses. Itu sebabnya tidak semua mal dibuat sama.
Warisan Lippo Malls seharusnya cukup menjadi bukti strategi kerjanya, namun Henry menawarkan lebih banyak hal dengan mengungkapkan bahwa selama pandemi, LMI mengalami pertumbuhan dua kali lipat, baik dari sisi kunjungan maupun transaksi ritel.
Ke depan, LMI akan menambah jumlah mal yang dikelolanya menjadi 100 mal yang mencakup 40 kota dan kabupaten di Indonesia. Ini akan menjadi upaya besar yang memerlukan pembangunan mal baru di kota-kota di Indonesia Timur. LMI juga sedang mempersiapkan berbagai proyek di berbagai kota di Indonesia Bagian Barat, antara lain di Semarang, Medan, Padang, Bandung, Tangerang, dan Cikarang