Belanja hyper-personalisasi jadi tren utama di Asia Tenggara | Asian Business Review
, Southeast Asia
1320 views
Photo by Liza Summer via Pexels

Belanja hyper-personalisasi jadi tren utama di Asia Tenggara

Data dan analitik memungkinkan brand mengoptimalkan pengalaman shopper baik secara daring maupun di toko fisik.

Permintaan konsumen terhadap pengalaman ritel yang hyper-personalisasi semakin memperketat persaingan di pasar ritel Asia Tenggara, di mana pembeli kini mencari desain dan warna pakaian yang disesuaikan, saran perjalanan, hingga rekomendasi gaya hidup.

Peritel dan brand meningkatkan strategi digital mereka dengan memanfaatkan data dan AI untuk memenuhi ekspektasi yang lebih tinggi dan membedakan diri di pasar yang padat, kata Vivek Sharma, consumer industry technology dan transformative leader Deloitte Asia Tenggara, kepada Retail Asia.

“Sebagai contoh, salah satu peritel terkemuka di Singapura memimpin dalam mendorong berbagai inisiatif digital melalui aplikasi dan program loyalitas yang dipersonalisasi,” katanya. “Kami melihat bahwa konsumen Asia Tenggara lebih menyukai brand yang menawarkan pengalaman yang dipersonalisasi, yang meningkatkan tingkat retensi pelanggan di pasar yang kompetitif.”

Vivek mengatakan data dan analitik memungkinkan brand mengoptimalkan pengalaman pelanggan secara omnichannel, baik di platform daring maupun di toko fisik mereka. GenAI telah lebih jauh mentransformasi interaksi konsumen dengan memungkinkan komunikasi yang dipersonalisasi dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai iklan, media, dan layanan pelanggan, tambahnya.

Dia mengatakan bahwa adopsi genAI akan terus meningkat seiring brand-brand fokus pada memaksimalkan kepuasan dan jangkauan shopper, sambil meningkatkan efisiensi operasional dalam skala besar.

Social commerce juga mengalami lonjakan, terutama di kalangan generasi muda. Di Indonesia, misalnya, enam dari sepuluh konsumen Gen Z melaporkan bahwa mereka berbelanja langsung melalui platform media sosial, mencerminkan tren regional yang lebih luas dalam keterlibatan digital.

“Impatience economy” juga menjadi kekuatan lain yang mengubah lanskap ritel, dengan permintaan terhadap layanan yang cepat dan praktis mendorong pertumbuhan quick commerce di kota-kota besar Asia Tenggara. Selera yang meningkat terhadap pengiriman cepat mendorong peritel untuk berinvestasi dalam micro-warehousing, dark stores, dan last-mile logistics untuk memenuhi permintaan.

Vivek menambahkan bahwa seiring perkembangan e-commerce, peritel harus mengoptimalkan strategi produk-channel di berbagai arketipe untuk memaksimalkan pertumbuhan.

Meskipun transformasi digital menjadi keharusan, banyak perusahaan di Asia Tenggara menghadapi kendala dalam mengintegrasikan legacy systems dengan teknologi modern, yang menyebabkan operasi menjadi terfragmentasi. Vivek mencatat lebih dari 50% klien Deloitte mengidentifikasi sistem usang sebagai penghambat utama transformasi digital mereka.

Kawasan ini juga mengalami kesenjangan keterampilan dalam data dan keahlian digital, yang memperlambat kecepatan dan efektivitas inisiatif digital. Budaya perusahaan menjadi tantangan lain, karena organisasi menghadapi resistensi terhadap perubahan, termasuk dalam upaya mendorong agility dan eksperimentasi.

“Lebih dari setengah upaya transformasi gagal karena kurangnya dukungan organisasi dan manajemen perubahan, yang harus didorong dari tingkat atas,” tegasnya.

Vivek juga mengatakan bahwa permintaan akan pengalaman omnichannel yang mulus semakin meningkat. “Konsumen mengharapkan pengalaman yang kohesif antara saluran online dan offline, termasuk opsi seperti click-and-collect dan dukungan untuk berbagai metode pembayaran digital.”

Hampir setengah dari pembeli Asia Tenggara akan meninggalkan brand yang gagal memenuhi harapan mereka terkait kenyamanan dan kecepatan, tambahnya.

Untuk sukses di pasar saat ini, brand harus memastikan konsistensi dalam pesan, harga, dan interaksi pelanggan di semua platform. Mereka juga harus berinvestasi dalam platform data terpadu, menjaga konsistensi brand, dan menawarkan opsi pengiriman yang fleksibel, kata Vivek.

Di antara kekuatan utama yang diidentifikasi Deloitte yang akan membentuk masa depan industri konsumen, Vivek mencatat meningkatnya adopsi teknologi generative AI, augmented reality (AR), dan virtual reality (VR) dalam interaksi brand dengan konsumen.

Sementara itu, semakin banyak perusahaan yang mengadopsi praktik berkelanjutan sebagai respons terhadap meningkatnya harapan konsumen terhadap perubahan iklim dan pengurangan limbah, kata Vivek. Dia juga menambahkan kebijakan yang terus berubah serta ancaman siber menyoroti pentingnya privasi data dan transparansi di dunia yang semakin digital.
 

 

KS Orka memperluas kapasitasnya melewati 200 MW lewat proyek Sorik Marapi

Ini menjadi tonggak penting bagi salah satu proyek listrik bersih terbesar di Indonesia.

MQDC melihat meningkatnya minat investor terhadap hunian mewah ramah lingkungan

The Forestias di Bangkok menghadirkan berbagai fasilitas dalam satu tata ruang terpusat.

Rumah tangga yang makin kecil memicu krisis perumahan di Asia-Pasifik

Pembangunan yang lebih cepat dan perluasan pasar sewa bisa menjadi solusi untuk masalah ini.

CPI kembangkan biomassa bambu ke proyek hybrid yang lebih besar

Warga lokal menggerakkan inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas di Indonesia.

Bagaimana Jepang dapat menghidupkan kembali komitmennya pada energi terbarukan

Negara tersebut menghadapi tantangan dari sisi sistem maupun regulasi.

Kawasan Asia-Pasifik perlu selaraskan rencana energi dan pusat data

Akses terhadap energi terbarukan menjadi kunci bagi perluasan pasar.

APAC memimpin pertumbuhan energi nuklir

Ketegangan geopolitik dan harga bahan bakar fosil mendorong upaya diversifikasi.

Ciputra Mitra Hospital percepat penanganan jantung dan stroke

Begitu pasien tiba, kode jantung atau stroke langsung diaktifkan.

Peralihan China dari batu bara ke hidrogen terhambat oleh biaya tinggi dan keterbatasan infrastruktur.

Hidrogen hijau membutuhkan pasokan energi terbarukan yang besar dan penyimpanan yang mahal.

Indonesia hadapi kesenjangan dalam evakuasi medis udara

Flying Doctor Indonesia hanya mampu melayani kurang dari 12% dari sekitar 600 permintaan evakuasi tiap tahunnya.